This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 07 Februari 2015

Banjir dan Kaos Kaki

Banjir dan Kaos Kaki


Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
            Salam sejahtera untuk kita semua, apa kabar teman-teman pembaca sekalian? Semoga sehat dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Hmmm … iya lama nih nggak ngeblog. Alasannya? Wah banyak banget alasan mah kalo dicari. Tapi sebenernya kalo udah punya niat sama tekad yang bulet mah alasan apapun harusnya nggak akan bisa menjadi penghalang, kecuali satu. Males. Iya males itu merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan, mematikan kreativitas maksudnya. Btw, mau nulis apa sih di acara ngeblog kali ini? Hmmm … ngapain ya? Telling story kayaknya. Persis judul di atas, ceritanya tentang banjir dan kaos kaki.
            Jadi gini ceritanya, pada zaman dahulu kala … Eh nggak ding serius nih ceritanya baru aja terjadi. Bisa-bisanya becanda setelah tadi abis nangis. Di komplek sekitaran rumah penulis lagi banjir akibat luapan air sungai. Maklum rumahnya deket sungai, cuma selang satu rumah doing jarak antara rumah penulis sama sungai. Nggak tinggi sih, cuma nyampe batas betis doang. Tapi yang jadi masalah, penulis kan sering keluar buat ke warung belanja beli beras, bahan-bahan buat masak, sabun cuci, dan segala macemnya. Awalnya penulis mau nyerah gitu aja. Mungkin Allah akan mengampuni dengan keadaan seperti ini untuk kali ini aja penulis akan keluar tanpa menggunakan kaos kaki. Kan banjir, wajar dong. Tapi kemudian penulis berpikir lagi, masa mau nyerah gitu aja tanpa usaha sama sekali. Tapi mau gimana lagi? Kaos kaki cuma dua pasang, yang lainnya ditinggal di kos-kosan. Sementara banjir tak surut dalam sehari dan intensitas penulis keluar rumah juga nggak cuma sekali. Belum lagi memikirkan tanggapan orang-orang. Apa yang akan mereka katakana ketika ngeliat penulis memakai kaos kaki ketika menyusuri genangan air. Aneh. Itu wajar bagi orang awam, makanya penulis sangat bersyukur diberi kesempatan untuk lebih mengetahui. Mungkin pandangan seperti itu juga bisa disebabkan karena penulis yang baru memakai kaos kaki ketika keluar rumah itu mulai waktu penulis kuliah. Sebenernya nggak baru-baru banget sih. Kan sekarang penulis udah semester 4, tapi masalahnya penulis jarang pulang juga sih diakibatkan beberapa faktor.
Rasanya mirip kaya waktu baru pertama pakai jilbab. Itu terjadi waktu aku kelas 2 SMA. Telat banget ya pakai jilbabnya, padahal udah tahu ilmunya dari kelas 3 SMP. Telat banget juga ya tahunya. Udah ah kalo bahas masalah kapan berjilbab, nyesel senyesel-nyeselnya. Kenapa nggak dari dulu aja? Makanya suka iri, beruntung banget mereka yang udah diajarin nutup aurat dari kecil. Coba temen-temen bayangin aja ketika temen-temen sekarang udah berjilbab, kemudian sampai sekarang yang ada dalam memori temen-temen SMPnya temen-temen itu adalah temen-temen yang nggak pakai jilbab. Hari-hari pertama mengenakan jilbab tidak dilalui dengan biasa saja. Berbagai macam respon seperti sindiran, komentar, dan pertanyaan semisal, “Potong rambutnya kependekan ya, makanya pakai jilbab?” pun dilontarkan. Kebanyakan dari mereka mungkin menganggap penulis belum pantas mengenakan jilbab mengingat kepribadian dan akhlak penulis sendiri yang masih … entahlah. Penulis juga maklum akan hal itu, soalnya di sini yang pakai jilbab cuma ustadzah yang ngajar ngaji sama orang yang abis pulang dari Arab (TKW). Segala macem bentuk respon itu masih penulis sikapi dengan enteng dan tenang, soalnya yang ada di pikiran penulis adalah bahwa perintah berjilbab itu untuk semua muslimah (perempuan Islam), nggak dijelasin yang akhlaknya udah baik atau belumnya dan itu hukumnya wajib, bukan Cuma buat bu ustadzah. Mendengar kata wajib, penulis menganalogikan rasanya nggak pakai jilbab akan sama dengan ketika penulis meninggalkan sholat. Semua respon orang-orang tidak terlalu menjadi masalah buat penulis. Tapi ketika keluarga juga tidak menyatakan dukungannya, itulah yang membuatnya merasa menjadi lebih berat.
Kembali ke cerita banjir dan kaos kaki tadi. Kira-kira kalo temen-temen lagi dalam keadaan kaya gini, apa yang bakal temen-temen lakuin? Nyerah dan berharap pemakluman dari Allah atau gimana? Yap betul, kita tetep harus istiqomah dalam menjaga aurat. Akhirnya setelah nggak berapa lama mikir, penulis inget untuk mencari kaos kaki bekas SMA barangkali aja masih ada. Udah dua lemari ditelusuri, hasilnya nemu deh sepasang kaos kaki putih yang nggak kepake soalnya kalo kata orang jawa bilamng udah kondor. Alhamdulillah kaos kakinya panjang, tinggal pake karet gelang biar nggak melorot nantinya. Seperti yang dipikirkan sebelumnya, pandangan aneh mulai bermunculan. Tapi penulis masih tetep  bisa melangkah dengan PDnya sampai balik lagi ke rumah. Hingga sampai pada kejadian itu, komentar pedas keluar dari mulut bapak. Aku masih bisa tahan dengan tanggapan miring jenis apapun dari orang-orang, tapi nggak bisa dari bapak. Kata-kata beliau yang selalu bisa membuatku termotivasi, kata-kata beliau juga yang membuatku down. Ingin sekali menanggapinya dengan biasa saja. Iya penulis memang bisa menanggapinya dengan biasa saja, tapi penulis nggak bisa untuk memikirkan bahwa hal itu tak pernah terjadi. Bodohnya penulis selalu tak punya kekuatan untuk menjelaskan. Tidak mudah jika hanya ada satu orang yang paham dalam satu keluarga untuk dapat memahamkan anggota keluarganya yang lain. Mungkin penulis perlu seperti Nabi Musa a.s. yang memohonkan Nabi Harun a.s. dan seperti Rasulullah saw yang memohonkan Umar r.a.
Sekian aja cerita tentang banjir dan kaos kakinya. Nggak boleh terlalu lama kebawa mellow karena penulis yakin di luar sana masih banyak orang yang tidak hanya berkorban perasaan untuk mempertahankan keistiqomahannya. Bahkan mereka rela berpisah dengan keluarga tercinta demi keyakinannya dan hal ini pun masih belum ada apa-apanya disbanding pengorbanan para sahabat dulu. Akhir kata semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.