Banjir dan Kaos Kaki
Assalamu’alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh.
Salam
sejahtera untuk kita semua, apa kabar teman-teman pembaca sekalian? Semoga
sehat dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Hmmm … iya lama nih nggak ngeblog.
Alasannya? Wah banyak banget alasan mah kalo dicari. Tapi sebenernya kalo udah
punya niat sama tekad yang bulet mah alasan apapun harusnya nggak akan bisa
menjadi penghalang, kecuali satu. Males. Iya males itu merupakan penyakit yang sangat
berbahaya dan mematikan, mematikan kreativitas maksudnya. Btw, mau nulis apa
sih di acara ngeblog kali ini? Hmmm … ngapain ya? Telling story kayaknya.
Persis judul di atas, ceritanya tentang banjir dan kaos kaki.
Jadi
gini ceritanya, pada zaman dahulu kala … Eh nggak ding serius nih ceritanya
baru aja terjadi. Bisa-bisanya becanda setelah tadi abis nangis. Di komplek
sekitaran rumah penulis lagi banjir akibat luapan air sungai. Maklum rumahnya
deket sungai, cuma selang satu rumah doing jarak antara rumah penulis sama
sungai. Nggak tinggi sih, cuma nyampe batas betis doang. Tapi yang jadi
masalah, penulis kan sering keluar buat ke warung belanja beli beras, bahan-bahan
buat masak, sabun cuci, dan segala macemnya. Awalnya penulis mau nyerah gitu
aja. Mungkin Allah akan mengampuni dengan keadaan seperti ini untuk kali ini
aja penulis akan keluar tanpa menggunakan kaos kaki. Kan banjir, wajar dong.
Tapi kemudian penulis berpikir lagi, masa mau nyerah gitu aja tanpa usaha sama
sekali. Tapi mau gimana lagi? Kaos kaki cuma dua pasang, yang lainnya ditinggal
di kos-kosan. Sementara banjir tak surut dalam sehari dan intensitas penulis
keluar rumah juga nggak cuma sekali. Belum lagi memikirkan tanggapan
orang-orang. Apa yang akan mereka katakana ketika ngeliat penulis memakai kaos
kaki ketika menyusuri genangan air. Aneh. Itu wajar bagi orang awam, makanya
penulis sangat bersyukur diberi kesempatan untuk lebih mengetahui. Mungkin pandangan
seperti itu juga bisa disebabkan karena penulis yang baru memakai kaos kaki
ketika keluar rumah itu mulai waktu penulis kuliah. Sebenernya nggak baru-baru
banget sih. Kan sekarang penulis udah semester 4, tapi masalahnya penulis
jarang pulang juga sih diakibatkan beberapa faktor.
Rasanya mirip
kaya waktu baru pertama pakai jilbab. Itu terjadi waktu aku kelas 2 SMA. Telat
banget ya pakai jilbabnya, padahal udah tahu ilmunya dari kelas 3 SMP. Telat
banget juga ya tahunya. Udah ah kalo bahas masalah kapan berjilbab, nyesel
senyesel-nyeselnya. Kenapa nggak dari dulu aja? Makanya suka iri, beruntung
banget mereka yang udah diajarin nutup aurat dari kecil. Coba temen-temen
bayangin aja ketika temen-temen sekarang udah berjilbab, kemudian sampai
sekarang yang ada dalam memori temen-temen SMPnya temen-temen itu adalah
temen-temen yang nggak pakai jilbab. Hari-hari pertama mengenakan jilbab tidak
dilalui dengan biasa saja. Berbagai macam respon seperti sindiran, komentar,
dan pertanyaan semisal, “Potong rambutnya kependekan ya, makanya pakai jilbab?”
pun dilontarkan. Kebanyakan dari mereka mungkin menganggap penulis belum pantas
mengenakan jilbab mengingat kepribadian dan akhlak penulis sendiri yang masih …
entahlah. Penulis juga maklum akan hal itu, soalnya di sini yang pakai jilbab cuma
ustadzah yang ngajar ngaji sama orang yang abis pulang dari Arab (TKW). Segala
macem bentuk respon itu masih penulis sikapi dengan enteng dan tenang, soalnya
yang ada di pikiran penulis adalah bahwa perintah berjilbab itu untuk semua
muslimah (perempuan Islam), nggak dijelasin yang akhlaknya udah baik atau
belumnya dan itu hukumnya wajib, bukan Cuma buat bu ustadzah. Mendengar kata
wajib, penulis menganalogikan rasanya nggak pakai jilbab akan sama dengan
ketika penulis meninggalkan sholat. Semua respon orang-orang tidak terlalu
menjadi masalah buat penulis. Tapi ketika keluarga juga tidak menyatakan dukungannya,
itulah yang membuatnya merasa menjadi lebih berat.
Kembali ke
cerita banjir dan kaos kaki tadi. Kira-kira kalo temen-temen lagi dalam keadaan
kaya gini, apa yang bakal temen-temen lakuin? Nyerah dan berharap pemakluman
dari Allah atau gimana? Yap betul, kita tetep harus istiqomah dalam menjaga
aurat. Akhirnya setelah nggak berapa lama mikir, penulis inget untuk mencari
kaos kaki bekas SMA barangkali aja masih ada. Udah dua lemari ditelusuri,
hasilnya nemu deh sepasang kaos kaki putih yang nggak kepake soalnya kalo kata
orang jawa bilamng udah kondor. Alhamdulillah kaos kakinya panjang, tinggal
pake karet gelang biar nggak melorot nantinya. Seperti yang dipikirkan
sebelumnya, pandangan aneh mulai bermunculan. Tapi penulis masih tetep bisa melangkah dengan PDnya sampai balik lagi
ke rumah. Hingga sampai pada kejadian itu, komentar pedas keluar dari mulut
bapak. Aku masih bisa tahan dengan tanggapan miring jenis apapun dari
orang-orang, tapi nggak bisa dari bapak. Kata-kata beliau yang selalu bisa
membuatku termotivasi, kata-kata beliau juga yang membuatku down. Ingin sekali
menanggapinya dengan biasa saja. Iya penulis memang bisa menanggapinya dengan
biasa saja, tapi penulis nggak bisa untuk memikirkan bahwa hal itu tak pernah
terjadi. Bodohnya penulis selalu tak punya kekuatan untuk menjelaskan. Tidak
mudah jika hanya ada satu orang yang paham dalam satu keluarga untuk dapat
memahamkan anggota keluarganya yang lain. Mungkin penulis perlu seperti Nabi
Musa a.s. yang memohonkan Nabi Harun a.s. dan seperti Rasulullah saw yang
memohonkan Umar r.a.
Sekian aja
cerita tentang banjir dan kaos kakinya. Nggak boleh terlalu lama kebawa mellow karena
penulis yakin di luar sana masih banyak orang yang tidak hanya berkorban
perasaan untuk mempertahankan keistiqomahannya. Bahkan mereka rela berpisah
dengan keluarga tercinta demi keyakinannya dan hal ini pun masih belum ada
apa-apanya disbanding pengorbanan para sahabat dulu. Akhir kata semoga
bermanfaat.
Wassalamu’alaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh.